SEJARAH
JARINGAN/ INTERNET DI INDONESIA
Jaringan
IntraNet di kampus-kampus merupakan kunci awal perkembangan
Internet di Indonesia. Sebelum ada sambungan ke internet sudah ada jaringan
komputer di lingkungan terbatas yang dikenal sebagai Local Area Network (LAN)
di sejumlah lembaga pendidikan dan lembaga pemerintah di Indonesia.
Pada era 1980 sampai menjelang pertengahan tahun 1990an, di
kalangan pendidikan tinggi (universitas) dengan para stake holders yang terdiri
dari para akademisi, mahasiswa, dan ilmuwan telah timbul inisiatif untuk
mengembangkan berbagai kegiatan seputar teknologi computer dan radio yang
semula hanya merupakan hobby, kegiatan amatir, maupun bagian dari proses
pendidikan mereka di perguruan tinggi menjadi suatu media telekomunikasi yang
akan memudahkan pertukaran data dan informasi, tidak hanya dalam lingkungan
kampus/lembaga-nya saja, namun mereka pun telah memiliki imajinasi bahkan
keinginan untuk mengembangkan suatu jaringan/network antar kampus dan bahkan
antar negara.
Hal tersebut dimulai dengan berbagai penelitian di
lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga pemerintah dengan bidang kerja yang
berhubungan dengan teknologi, telekomunikasi khususnya komputer dan
networkingnya, ditambah dengan adanya transfer of technology dari sejumlah
akademisi selepas studi ataupun penelitian mereka di luar negeri, dimana
teknologi jaringan computer sudah mulai berkembang.
Berikut Urutan Ihwal adanya Internet Di Indonesia :
Pra-Sejarah
Internet di Indonesia (1970-1993)
Ada dua hal yang perlu diperhatikan, jika membahas seputar
pra-sejarah Internet di Indonesia.
Pertama, populasi komputer Indonesia yang sangat minim sekali
seputar tahun 1970-1980an. Kedua, istilah Internet baru menjadi populer pada
tahun 1990an. Sebelumnya, nama dari sebuah jaringan komputer berdasarkan siapa
yang membiayainya atau siapa yang menggunakannya. Umpamanya: apranet, BITnet,
CSnet, NSFnet, UUSCPnet, dan seterusnya.
Internet merupakan media komunikasi yang populer di Indonesia
sejak akhir tahun 1990. Perkembangan jaringan internet di Indonesia dimulai
pertengahan era 1990, namun sejarah perkembangannya dapat diikuti sejak era
1970-an.
Pada awal perkembangannya, internet dimulai dari
kegiatan-kegiatan yang bersifat non-komersial, seperti kegiatan-kegiatan
berbasis hobby dan dalam perkembangan selanjutnya kebanyakan diprakarsai oleh
kelompok akademis / mahasiswa dan ilmuwan yang sebagian (pernah) terlibat
dengan kegiatan berbasis hobby tersebut, melalui upaya membangun infrastruktur
telekomunikasi internet.
Peranan Pemerintah Indonesia dalam perkembangan jaringan
internet di Indonesia memang tidak banyak, namun juga tidak dapat
dikesampingkan, walaupun peranan mereka tidak terlalu signifikan. Dalam bab
ini, kita akan melihat, bagaimana pra-sejarah internet di Indonesia, serta
actor-aktor yang berperan didalamnya.
Hobby
Amatir Radio
Sejarah internet Indonesia dapat ditelusuri dari berbagai
kegiatan sejumlah masyarakat, khususnya dalam bidang telekomunikasi.
Kegiatan-kegiatan tersebut lebih merupakan kegiatan berbasis hobby atau yang
bersifat amatir, tanpa ada tujuan komersil. Kegiatan-kegiatan tersebut
berhubungan dengan penggunaan radio telekomunikasi yang kemudian memunculkan
suatu komunitas penggemar komunikasi radio, dikenal sebagai Amatir Radio yang
tergabung di Organisasi Radio Amatir Indonesia (ORARI_. Komunitas ini tidak
hanya sekedar menggunakan radio sebagai alat komunikasi saja tapi juga pada
upaya meningkatkan kemampuan teknis dalam membuat alat komunikasi / radio
panggil. Booming radio amatir ini dimulai era tahun 1970-an, dengan penggemar dari
berbagai tingkatan usia, namun terutama di kalangan remaja dan orang dewasa
(usia 15-30 tahun).
Dari komunitas ini pula kemudian dikenal komunikasi radio antar
penduduk menggunakan frekuensi Citizen Band (CB). CB sebenarnya tidak terkait
langsung dengan perkembangan infrasturktur telekomunikasi, karena lebih
merupakan pengembangan hobby berkomunikasi dengan sesama orang yang menggemari
komunikasi antar-radio yang dilakukan sebagian anggota masyarakat, sebagai
alternative penggunaan telepon.
Pada masa itu, telepon sudah merupakan alat komunikasi yang
umum, namun keharusan untuk membayar biaya sambungan telepon merupakan hal yang
cukup berat, terutama bagi remaja/dewasa muda yang belum memiliki penghasilan
tetap. Kemudian, mulailah mereka menggunakan radio panggil / CB, yang bisa
dipakai mengobrol berjam-jam tanpa khawatir biaya telepon membengkak. Biaya
yang diperlukan untuk ‘membangun’ radio panggil dan pemancarnya pun relative
tidak terlalu mahal.
Komunikasi dengan radio panggil pada saat itu masih menggunakan
teknologi Analog dengan frekuensi AM, dan masih dilakukan dengan sesama
pengguna/penggemar radio amatir yang berada dalam range/jarak tertentu yang
mampu dicapai gelombang radio. Secara bertahap, sejumlah orang dengan hobby
radio panggil ini mulai mengutik-utik radio mereka sehingga dapat mencapai
range frekuensi yang lebih jauh, sehingga mereka bisa terhubung dengan sesama
pengguna radio panggil yang ada di tempat yang lebih jauh. Ketika kemudian
pengguna radio panggil mulai banyak, mereka akhirnya membentuk komunitas yang
dikenal dengan ORARI
Radio Paket (Packet Radio) pertama diperkenalkan oleh seorang
anggota senior ORARI, Robby Soebiakto YB1BG, pada tahun 1987. Dengan
menggabungkan teknologi paket radio dengan computer, pemakai computer dapat mengirimkan
data teks menggunakan gelombang radio. Dengan menggunakan dua stasiun radio
amatir milik ORARI di Jakarta, pengguna radio amatir mendirikan BBS radio paket
amatir. Cara ini membantu mengembangkan komunikasi data dari komunikasi satu
arah menjadi komunikasi dua arah. Kemudian pada awal tahun 1990-an, teknologi
paket radio amatir mulai mempergunakan modem telepon, dan dalam perkembangan
selanjutnya membentuk jaringan Radio Paket Amatir yang dikenal sebagai AMPRNet
(Amateur Packet Radio Network), yang pada akhirnya mengarahkan komunitas
penggunanya pada internet. Salah satunya dengan upaya yang dilakukan kelompok
akademisi dan mahasiswa ITB, Amatir Radio Club (ARC) ITB dan Computer Network
Research Group (CNRG) ITB, dengan mensosialisasikan penggunaan radio paket
sebagai sarana sambungan dengan internet yang terhitung murah, khususnya bagi
lembaga-lembaga (pendidikan).
Dari orang-orang inilah muncul sejumlah tokoh yang kemudian
memiliki peran penting dalam pengembangan teknologi telekomunikasi, hingga munculnya
Internet di Indonesia.
Telepon BBS
Selain Radio Amatir dan Radio Paket Amatir, ada pula teknologi
yang dikenal dengan Buletin Board System (BBS) berbasis FidoNET. Teknologi ini
pertama kali dibawa ke Indonesia awal tahun 1980-an oleh Jim Filgo saat bekerja
di Kedutaan Amrik, Malingping.
BBS merupakan jaringan e-mail store and forward yang mengaitkan
banyak ‘server’ BBS amatir radio di seluruh dunia agar e-mail dapat dikirim dan
terima dengan lancar. BBS hanya menyediakan data dalam bentuk gambar-gambar
atau informasi tertulis. Untuk perangkat keras/hardware-nya sendiri, BBS
merupakan perangkat computer yang dilengkapi dengan modem dan sambungan kabel
telepon. Jika ada beberapa BBS yang saling terhubung, maka kita sudah dapat
mengakses komputer (BBS) lain. Sambungan antar BBS dilakukan melalui saluran
telepon, dan karenanya pengguna BBS umumnya merupakan kaum ‘elit’ / ekonomi
menengah-atas karena sambungan melalui saluran telepon terhitung mahal. (Lim,
2005)
Setelah pensiun, Jim Filgo menjadi konsultan berbagai instansi
seperti Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN). Di sana ia berteman dengan
C C Yan, seorang pengusaha lokal di Jakarta, dan keduanya kemudian
memperkenalkan teknologi BBS kepada komunitas peminat komputer di Jakarta.
Salah satu ‘anggota’ komunitas tersebut adalah Michael Sunggiardi, partner C C
Yan di sebuah toko komputer, Computeria di Ratu Plaza Jakarta, yang memiliki
minat besar terhadap komputer dan bahkan memiliki usaha komputer di Bogor.
Michael Sunggiardi kemudian membawa dan memperkenalkan teknologi tersebut ke
Bogor.
Komunitas
Penggemar Komputer
Akhir tahun 1981, Michael Sunggiardi me mulai bisnis komputernya
di Bogor. Awalnya ia hanya menjalankan bisnisnya tanpa niat yang serius.
Dimulai dari hobby mengutak-atik barang elektronik, ia kemudian mempelajari
teknik audio, televise, videotape recorder (yang pada era 80-an merupakan alat
hiburan yang cukup popular) hingga Compact Disc Player (CD Player), sehingga ia
memiliki keterampilan teknis dalam bidang elektronika, dan kemudian mulai
mengajar di sejumlah kursus computer dan kursus elektronik di Jakarta, sambil
menyambi bisnis dan kuliahnya.
Ketika mulai merasa jenuh dengan kegiatannya tersebut, ia mulai
beralih pada komputer, karena ia merasa bahwa teknis elektronika computer memiliki
lebih banyak tantangan. Ketika itu ia mulai membantu beberapa gerai computer di
Harco, Glodok Plaza Jakarta. Masa itu belum banyak orang paham apa itu komputer
atau bagaimana mengoperasikannya. Ia mempelajari teknis computer dan kemudian
menularkan ilmunya itu kepada beberapa rekanan sesama pedagang di harco dan
juga pada kursus-kursus computer. Ia bahkan sempat mengajari beberapa orang
yang sekarang ini menjadi icon-nya bisnis computer di Indonesia di
kursus-kursus, antara lain di Columbia Computer, CPU Computer, UPS Pascal.
Mulai dari aplikasi program Lotus, Wordstar, yang menurutnya akan terpakai bagi
orang-orang bisnis. Peserta kursusnya ketika itu tidak terbatas pada anak-anak
muda saja, namun sebagian justru orang-orang yang sudah berusia 40-an.
Tahun 1982 Michael mendirikan perusahaan PT Batutulis Graha
Komputronika bersama 3 orang temannya di Jakarta dan Bogor. Mula-mula ia
meletakkan komputer di toko buku milik ayahnya di Bogor, dan hal itu ternyata
menarik perhatian sejumlah pelanggan. Karena para karyawan tidak paham mengenai
computer, mereka mengundang penanya-penanya tadi untuk kembali hari Sabtu dan
mendapatkan penjelasan dari Michael mengenai komputer dan cara
pengoperasiannya. Hal ini berlanjut sampai tahun 1984-1985, ketika ia mulai memiliki
staff yang membantunya menerangkan dan mengajari tentang computer.
Bisnis komputer ini berkembang setelah ia memiliki klien
ekspatriat asal Australia yang bekerja di Balai Penelitian Veterinary di Tapos,
dekat Ciawi. Selanjutnya ia mulai memiliki banyak klien ekspatriat, antara lain
dari Amerika dan Jepang, yang bekerja di perusahaan di sekitar Bogor dan
Jakarta. Pada awalnya mereka datang untuk membeli komputer, tapi kemudian
mereka banyak bertanya tentang pengoperasian dan perangkat lunak, dan Michael
pun mengajak para ekspatriat tersebut untuk mempelajari komputer dan
mengajarkan sejumlah program dan perangkat lunak, antara lain Graphic Design
dengan Desktop Publishing, Ventura Publisher. Ketika itu ia masih memanfaatkan
toko buku milik ayahnya di Suryakencana, daerah Chinatown di Bogor, dimulai
dari satu bagian toko buku hingga akhirnya ia menggunakan lantai dua untuk
bagian penjualan dan pelayanan computer.
Tahun 1986-an, Michael berangkat ke Amerika dan kemudian
memperoleh sertifikasi di Ventura Publisher users di Santa Barbara sehingga
dikenal sebagai one of the first Asian yang memiliki sertifikasi. Pada tahun
yang sama, Michael mendirikan computer club/klub komputer Pangkalan PC yang
ketika itu anggotanya mencapai 2.000 orang. Salah satunya adalah Izak Jeni,
orang Indonesia yang membuat VoIP Free World Dial Up bersama Jeff Parvour di
New York. Antara tahun 1995-1997 Izak mengubah program untuk soundcard menjadi
VoIP (Voice over Internet Protocol), sehingga ia bisa berbicara (langsung) di
komputer dengan ayahnya, almarhum Aldi Jeni di Jepang.
Ketika itu klub komputer yang didirikan Michael sering berkumpul
di gedung Gramedia di Jakarta, karena saat itu Michael cukup aktif membantu
kawan dekatnya Kosasih Iskandarsyah yang bekerja di Elexmedia, dan di Gramedia
Pustaka Utama, divisi penerbitan Gramedia, Michael memberikan training sehingga
staff Gramedia tidak hanya menggunakan komputer untuk sekedar mengetik saja,
tapi juga untuk men-set-up desain dan layout media cetaknya dengan Ventura
Publisher. Ia terus bekerja membantu Gramedia hingga tahun 1990-an.
Kegiatannya di Computer Club sendiri dilakukan dengan resources
yang terbatas, namun ia cukup banyak melakukan inovasi, misalnya dengan membeli
software original di Amerika, kemudian ia mengutak-atik crack-nya sehingga
software tersebut bisa dicopy, dan kemudian dijadikan bahan presentasi di Klub
dan di distribusikan ke seluruh toko komputer di Indonesia, bekerja sama dengan
prosuden disket SKC dari Korea.
“Jadi every meeting kita punya topik gitu. Ada software ini,
saya ngomong. Software ini gunanya ini. Kalau mau copy, silahkan. Sediain
copynya. Itu kan masih 5 ¼ inches. Masih bisa gitu. Terus sampai akhirnya ada
buku, fotokopi… fotokopi ngebajak… jadi kayak Robinhood hahaha, one for all,
all for one.”(Sunggiardi, 2005)
Kegiatan klub tersebut berjalan sampai tahun 1990. Saat yang
bersamaan, pada tahun 1987, Michael juga membuka Klub yang sama di Bogor,
sebagai cabang klub di Jakarta sekaligus untuk menopang bisnis komputernya
disana. Menurutnya, klub tersebut bisa membantu edukasi dan market bisnisnya,
karena dengan awareness klien, penggunaan komputer akan jauh lebih besar dan
luas.
Berbagai upaya tersebut telah melahirkan suatu jaringan computer
di Bogor, dengan memperkenalkan teknologi computer dan aplikasinya. Walaupun
pada awalnya perkembangan itu dilakukan melalui upaya bisnis computer, namun ia
menambahkan unsur edukasi dan pengenalan computer melalui kegiatannya mengajar
kursus computer dan mendirikan klub computer di Jakarta dan Bogor.
OrangIndonesia
di Luar Negeri
Perkembangan infrastruktur internet pertama di Indonesia juga
banyak dipengaruhi oleh aktifitas mahasiswa Indonesia yang belajar di luar
negeri pada era tahun 80-an. Ketika itu, salah satu fasilitas komunikasi yang
dapat diakses mahasiswa di sejumlah universitas di luar negeri adalah koneksi
internet. Mereka memanfaatkan fasilitas tersebut untuk dapat saling terhubung
satu sama lain, dimulai dengan membentuk suatu komunitas mahasiswa Indonesia
yang belajar di universitas
Pada era Orde Baru ketika rezim Soeharto berkuasa, banyak
isu/topic pembicaraan bernuansa social-politik yang dianggap “tabu”, terlarang
untuk dibicarakan, terutama bila menyangkut masalah politik dan SARA (Suku,
Agama, Ras, dan Antar golongan). Mahasiswa sebagai salah satu kaum intelektual
sempat mengalami berbagai bentuk pencekalan terhadap kegiatan-kegiatan maupun
wacana yang berhubungan dengan isu/topic yang “tabu” itu. Keingintahuan mereka
mengenai kondisi di Indonesia ternyata terpenuhi dengan dibentuknya sejumlah mailing
list oleh mahasiswa Indonesia di luar negeri. Memang, pada mulanya mailing list
tersebut tidak dibuat sebagai ajang diskusi urusan social-politik Indonesia,
namun lebih sebagai sarana berkomunikasi antar mahasiswa ‘perantauan’, untuk
saling bertukar informasi seputar kegiatan mereka di masing-masing
sekolah/universitas dan mengenai berbagai kabar dari tanah air. Namun kemudian,
permasalahan social-politik Indonesia pun tidak luput dari topic
pembicaraan/diskusi mereka. Mereka merasa lebih ‘aman’ untuk membicarakan suatu
permasalahan yang menyangkut urusan social-politik nasional, karena pada saat
itu mereka hanya saling terhubung satu-sama lain dengan mahasiswa Indonesia
yang juga kuliah di luar negeri, sehingga tidak ada ‘pengawasan’ dari pemerintah.
Pada akhirnya, terbentuklah komunitas-komunitas mahasiswa
Indonesia di luar negeri. Dimulai dengan dibentuknya mailing list Janus Garuda
Indonesia (Janus) dengan alamat e-mail indonesians@janus.berkeley.edu pada
tahun 1987, oleh Eka Ginting, yang ketika itu sedang kuliah di University of
Seattle, Amerika Serikat. Ginting memanfaatkan server yang ada di University of
California ~ Berkeley. (Lim, 2005) Diskusi yang dilakukan dalam milis ini
mula-mula bersifat saling tukar informasi dan kemudian baru menyangkut berbagai
isu seputar masalah social-politik yang terjadi di tanah air. Diskusi kemudian
mulai membahas seputar isu SARA sehingga terjadi perpecahan diantara peserta
milis, khususnya kelompok-kelompok mahasiswa Indonesia yang beragama Islam dan
Kristen. Perpecahan ini kemudian berujung pada terbentuknya sejumlah mailing
list kecil berbasis agama (Islam dan Kristen), seperti is-lam@isnet.org,
dialog@isnet.org (berisi diskusi tentang Islam, muslim dan non-muslim) dan
paroki@paroki.org (untuk umat Katolik Indonesia),
iccn@dbs.informatik.uni-muenchen.de (Indonesian Christian Computer Network).
Hingga tahun 1989, belum ada lagi mailing list yang dibentuk
mahasiswa Indonesia, dan barulah kemudian, pada tahun 1989 dibentuklah UK-NET
oleh mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Inggris, disusul dengan INDOZNET –
Indonesia-Australia-Network, yang dibentuk mahasiswa Indonesia di Australia,
dan kemudian terbentuk pula Isnet (the Islamic Network), milis yang ditujukan
terutama bagi mahasiswa Muslim Indonesia yang berkuliah di Amerika Serikat.
(Lim, 2005)
Ketika kemudian mereka kembali ke Indonesia, mereka tetap
merasakan perlunya koneksi internet untuk membantu komunikasi dan pertukaran
informasi / data, namun kala itu perguruan tinggi di Indonesia belum memiliki
infrastruktur yang memadai bagi akses internet. Baru beberapa perguruan tinggi
yang mencoba membangun jaringan komunikasi / network local kampus, dan itupun
masih menggunakan radio paket link, dengan kecepatan akses yang sangat lambat.
Diantara perguruan-perguruan tinggi tersebut adalah ITB, UI, dan UGM.
Maka kemudian, sejumlah mahasiswa/akademisi yang baru kembali
dari studi di luar negeri tersebut mulai melakukan berbagai penelitian dan
kemudian berupaya membangun jaringan komunikasi (data), mula-mula di kampus mereka
masing-masing, dan pada akhirnya, mereka akan mencoba menyambungkan jaringan
local kampus tersebut dengan kampus lain, lembaga-lembaga pemerintah, dan pada
akhirnya dengan jaringan internet global. Perkembangan tersebut akan
diceritakan di bagian lain dari tulisan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar